Indonesia, sebagai negara berkembang dengan limpahan
sumber daya alam (SDA) yang dimiliki, seharusnya menjadikannya sebagai negara
super power. Negara yang mampu membawa masyarakatnya masuk ke dalam lingkaran kesejahteraan.
Namun, mengapa sampai hari ini hal tersebut belum juga
mampu terwujud? Bahkan, limpahan sumber daya alam tersebut, yang seharusnya menjadi kekuatan justru menjadikan Indonesia lemah.
Tentulah kalau mau kita kaji lebih dalam, maka hal tersebut
tidak akan terlepas dari ketersediaan sumber daya manusia Indonesia. Ketidak selarasan
antara ketersediaan sumber daya alam dan kualifikasi sumber daya manusia (SDM) menjadi
faktor utama permasalahan tersebut. Sumber daya manusia yang dimiliki Indonesia belum mampu
mengolah sumber daya alam secara maksimal. Sehingga, tidak mengherankan apabila
sebagaian besar perusahaan-perusahaan di Indonesia dikuasai oleh asing.
Kalau sudah seperti ini, mau tidak mau, permasalahan harus
kita larikan kepada dunia pendidikan. Pendidikanlah yang akan menjadi kambing
hitam dalam permasalahan ini.
“Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan
dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta
didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi
warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.”
Begitulah bunyi Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional yang tertuang dalam Bab II pasal 3. Pasal
ini secara gamblang mengisyaratkan bahwa sejatinya pendidikan di Indonesia
diharuskan mampu menjadi pabrik yang produktif dalam mempersiapkan sumber daya
manusia yang mumpuni. Akan tetapi, yang
terjadi justru sebaliknya. Di tengah limpahan SDA yang hampir merata di seluruh
Indonesia, ternyata pendidikan Indonesia tidak mampu mengimbangi hal tersebut. Dunia
pendidikan kita tidak mampu mempersiapkan SDM yang memiliki kualifikasi mumpuni. Hal ini harus kita akui bersama.
Dewasa ini, kondisi pendidikan Indonesia sangatlah
memprihatinkan. Hal tersebut terlihat dari berbagai survey yang ada.
PISA (Programme
for International Students Assesment) mengungkapkan studinya beberapa tahun
yang lalu, Indonesia berada pada
peringkat 64 dari 65 negara dalam persoalan kemajuan pendidikan. Sedangkan hasil
survey diperoleh HDI (Human Development Index), sebuah badan yang mengurusi
persoalan pengemabangan SDM, menjelaskan bahwa dari 179 negara di dunia,
Indonesia hanya mampu menempati urutan 109.
Survey-survey tersebut menjadi bukti rendahnya kualitas
pendidikan indonesia. Pendidikan Indonesia begitu sulit memproduksi SDM yang
profesional dan handal.
Lantas, apa sebenarnya yang menjadikan pendidikan
indonesia begitu sulit mewujudkan hal tersebut?
Pertama, permasalahan sarana dan prasarana.
Persoalan sarana dan prasarana telah menjadi problem
klasik dalam dunia pendidikan indonesia. Hal ini telah manjadi masalah yang
mengakar. Gedung sekolah yang tidak layak pakai, ketidak tersediaan
laboratorium, infrastruktur teknologi yang masih sangat minim, buku
perpustakaan yang tidak lengkap, bahkan masih ada beberapa sekolah yang belum
memiliki gedung sendiri.
Menurut data Kementerian Pendidikan Nasional, saat ini
Indonesia memiliki 899.016 ruang kelas SD namun sebanyak 293.098 (32,6%) dalam
kondisi rusak. Sedangkan di tingkat SMP, Indonesia memiliki 298.268 ruang kelas
namun ruang kelas dalam kondisi rusak mencapai 125.320 (42%).
Ini tentu menjadi ancaman bagi pendidikan Indonesia. Ketersediaan
ruang kelas yang tidak layak sperti itu, akan menciptakan situasi belajar yang
tidak kondusif.
Kedua, rendahnya kualitas guru
Harus kita akui, bahwa keberadaan guru di Indonesia begitu
mengkhawatirkan.
Kebanyakan guru belum memiliki profesionalisme yang
memadai untuk menjalankan tugasnya sebagaimana disebut dalam pasal 39 UU No
20/2003 yaitu merencanakan pembelajaran, melaksanakan pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan, melakukan pelatihan, melakukan
penelitian dan melakukan pengabdian masyarakat.
Secara kuantitas, jumlah guru memang sudah terbilang banyak. Namun
dalam masalah kualitas dan profesionalisme masihlah sangat rendah.
Hal tersebut terlihat dari masih banyaknya guru yang
mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang mereka miliki. Sehingga SDM
yang tercipta menjadi SDM yang tidak profesional pula. Ini terjadi hampir di
seluruh wilayah Indonesia.
Ketiga, rendahnya relevansi pendidikan dengan kebutuhan
dunia kerja.
Hal tersebut terbukti dari begitu banyaknya lulusan sekolah atau
perguruan tinggi yang menganggur. Data BAPPENAS menunjukan bahwa jumlah pengangguran yang dihadapi oleh lulusan SMA
berkisar pada angka 25,47 persen, Diploma sebesar 27,5 persen, dan PT sebesar 36,6 persen. Angka yang
fantastis.
Sedangkan menurut Balitbang Depdiknas, hampir setiap
tahunnya tercipta 3 juta anak putus sekolah yang sama sekali tidak memiliki
keterampilan hidup. Sangat memprihatinkan.
Pengangguran-pengangguran ini tentulah bukan tanpa sebab.
Ketidak sinkronan antara penanaman skill dalam dunia sekolah dengan kebutuhan
dunia kerja. Sekolah atau institusi-institusi pendidikan lainnya, hanya mampu
mengikuti keinginan kurikulum. Sedang kurikulum tidak begitu mengerti tentang
kebutuhan kerja yang ada di daerah. Sehingga, dalam beberapa dekade terakhir,
dunia sekolah hanya mampu menghasilkan SDM yang besar dalam kuantitas namun
minim dalam kualitas.
Keempat, Kurikulum yang selalu berganti-ganti.
Delam satu dekade terakhir, Kurikulum di indonesia telah
mengalami perubahan serta Perombakan beberapa kali. Perubahan kurikulum, akan berdampak
pada proses belajar mengajar di sekolah. Sebab, pergantian kurikulum menjadikan
guru tidak fokus dalam melaksanakan pengajaran. Apa lagi, jika kurikulum yang baru diberlakukan sangatlah berbeda dengan
kurikulum lama. Dibutuhkan waktu ekstra dalam
penyesuaian proses belajar mengajar. Parahnya lagi, Kurikulm 2013 yang beberapa waktu
lalu tiba-tiba tidak diberlakukan lagi. Padahal belum lama diterapkan. Ini
tentu menjadi sebuah masalah yang tidak boleh dianggap remeh.
Solusi sebagai
sebuah konklusi
Di tengah banyakanya masalah pendidikan yang ada, yang
kemudian juga berdampak pada penciptaan SDM yang mumpuni, sudah seharusnya
menjadi hal yang dipikirkan bersama. Para elit politik dalam pemerintahan tidak
lagi boleh bungkam. Berpangku tangan dalam permasalahan pendidikan, berarti
bagian dari upaya pembunuhan Bangsa. Pemerintah sebagai tumpuan rakyat, sudah
sepatutnya melakukan tindakan-tidakan solutif dalam upaya penyelesaian masalah
pendidikan.
Sarana dan prasarana pendidikan tidak lagi boleh terlupakan.
Akan sangat baik, apabila pihak-pihak yang berada di atas, bersedia untuk
terjun langsung melihat bagaimana kondisi nyata permasalahan sarana dan
prasarana pendidikan. Sehingga, mereka bisa tahu tindakan apa yang harus
dilakukan.
Kemudian, kualifikasi dan profesionalisme guru mesti
dijadikan sebagai masalah yang serius.
Pemerintah wajib membuka mata. Mereka harus lebih peka dan aktif dalam menghadapi
masalah ini. Pemerintah harus lebih selektif dal melakukan penerimaan tenaga
pengajar. Harus diingat bersama, bahwa kualitaslah yang utama.
Sementara itu, menyoal kurikulum yang ada, sudah saatnya
pemerintah menentukan standar kurikulum pendidikan di negara kita. Sehingga,
tidak lagi terjadi permasalahan sekolah dalam melakukan penyesuaian dengan
kurikulum yang baru. Ini juga akan membantu sekolah agar lebih terarah dalam
melakukan upaya dan usaha pendidikan. Selain itu, pemerintah sebaiknya mampu
melihat kondisi kebutuhan kerja yang ada di bawah. Sehingga, kurikulum yang
diberlakukan mampu meng-cover hal
tersebut. Tenaga-tenaga pekerja yang tercipta pun menjadi tenaga kerja yang
siap pakai dalam dunia kerja, entah di daerah masing-masing ataukah di daerah
alin.
0 comments